"Saya pulang dulu ya, Pak Han." ujar salah seorang karyawan dari belakangku. Aku berdehem, merasa tak perlu menoleh. Aku tahu ini sudah lewat jam pulang kantor, aku juga tahu yang barusan itu karyawan terakhir yang meninggalkan kantor.
Sambil melonggarkan dasi, aku masih dibuat heran oleh catatan perusahaan. Masih saja ada yang kurang, kutelusuri tabel satu demi satu. Sebentar lagi pasti ketemu, harus. Kopi di meja sudah mendingin tanpa sempat kucicipi. Aku lelah sekali.
Di saat seperti ini harusnya majalah bisnis menyoroti kehidupan pemimpin perusahaan. Pemimpin perusahaan selalu digambarkan dengan baju rapi, duduk di kursi kulit besar yang nyaman, sambil tersenyum gagah menampilkan kekuatan. Laman kemudian berisi kisah sukses dan profit miliaran perusahaan, belum lagi strategi dan trik jitu yang diamini oleh pengusaha baru yang berharap mendapat kesuksesan yang sama.
Majalah-majalah itu selalu lupa bahwa setiap petang, pemimpin perusahaan jadi orang yang masih dituntut untuk berpikir keras. Tak pernah ada waktu makan malam santai atau liburan keluarga. Semua pegawai selesai bekerja pukul lima sore, kecuali pemimpin mereka. Semua pegawai makan siang dan beristirahat, pemimpin mereka memanfaatkan waktu makan siang sebagai waktu rapat.
Memimpin berarti mengorbankan sesuatu. Sesuatu mungkin berarti satu-satunya yang aku punya, hidup normal.
Cukup, malam masih panjang. Aku tak punya waktu menyesali keadaan yang aku punya. Pengusaha perusahaan skala tanggung seperti aku tak punya waktu untuk gundah gulana.
-Han
Minggu, 21 Juni 2015
Father #6
Papa duduk di teras, membuka koran sambil ditemani secangkir teh panas yang mengepul. Dulu, sebelum diabetes melitus membatasi asupan gulanya, teh panas tidak tawar seperti sekarang. Aku tahu betul perjuangan Mama dalam mengubah kebiasaan di rumah supaya ramah terhadap diabetes Papa. Belum lagi harus berurusan dengan emosi Papa yang berubah relatif labil.
Perkawinan menurutku sarat dengan pelayanan dari pihak wanita. Mungkin sebenarnya pria menikah juga karena kebutuhan mereka untuk diladeni. Sebagai gantinya, pria melindungi dan menafkahi.
Pelayanan? Bukankah hidup terlalu singkat untuk menggadaikan kebebasan dengan nafkah yang perlindungan yang sebenarnya bisa dicapai sendiri?
-Fai
Perkawinan menurutku sarat dengan pelayanan dari pihak wanita. Mungkin sebenarnya pria menikah juga karena kebutuhan mereka untuk diladeni. Sebagai gantinya, pria melindungi dan menafkahi.
Pelayanan? Bukankah hidup terlalu singkat untuk menggadaikan kebebasan dengan nafkah yang perlindungan yang sebenarnya bisa dicapai sendiri?
-Fai
Langganan:
Komentar (Atom)