Sekumpulan pegawai perempuan, kasak-kusuk sambil menghadap layar monitor. Aku melewati sudut tempat mereka berkumpul dengan sengaja, sedikit penasaran.
"Mungkin saking galaknya kali, jadi nggak laku." celetuk pegawai berambut merah yang diakhiri dengan cekikikan usil.
Pasti Mbak Renata yang jadi topik obrolan. Art director kami yang sudah berusia empat puluhan itu memang tegas dan tak segan menegur kalau pekerjaan bawahannya tak sesuai ekspektasi. Aku sampai sekarang kurang paham kenapa pegawai wanita di kantor selalu saja berbicara hal-hal yang buruk tentang beliau.
Well, she is not lovely indeed. Kata-katanya tajam kalau mengomentari hasil kerja yang tak beres. Artikelku beberapa kali jadi bahan murkanya, aku pulang dengan kesal bertumpuk. Tapi, bukannya itu memang tugas Mbak Renata? Memastikan bahwa output kami memenuhi ekspektasi klien.
Menurutku, manusia sering mengatribusikan kesalahan dan kelemahan diri sendiri ke pihak di luar diri mereka agar merasa lebih baik. Jadi kalau pekerjaan mereka ditolak dan diminta untuk diulang dari awal, itu semua salah Mbak Renata--bukan salah kualitas mereka yang bobrok. Aku tersenyum kecut, maka selamanya mereka tertinggal di belakang--sama dengan posisi mereka saat menggunjingkan Mbak Renata.
"Silakan masuk, Mbak." ujar asisten Mbak Renata padaku sambil tersenyum simpul.
Aku masuk, melihat artikelku sudah dalam bentuk print out di atas meja--penuh coretan merah. "Fai, kamu baik-baik saja?"
Pertanyaan seperti itu dilontarkan bukan karena Mbak Renata peduli keadaanku, aku tahu jelas maksudnya. Setelah menarik kursi di depannya, aku duduk tenang. "Apa ada yang salah dengan tulisan saya, Mbak?"
"Copy untuk iklan jasa desain interior, Fai! Ini advertorial, bukan laman wikipedia. Kamu sudah wawancara?"
Aku menggeleng, "Deadline untuk pekerjaan ini hanya tiga hari, Mbak."
"Exactly! Makanya kamu seharusnya kamu cepat bikin janji dan wawancara!"
"Tapi C-level biasanya minta waktu sekitar seminggu untuk approval meeting. Belum soal.."
"Minta ke Lastri kontak direkturnya, bikin jadwal wawancara. Harusnya direkturnya tahu diri dengan perusahaan kecil begitu. Saya beri dua hari lagi. Make it fast, no excuse."
Aku menarik napas, apa Mbak Renata tidak mendengar soal alasanku barusan? Atau telinganya tertutup rambut yang tergerai mengerlung hasil catokan setiap pagi?
"Fai?" Mbak Renata menjentikkan jarinya di depan mukaku. "No excuse, okay?"
"Baik, Mbak."
Aku melewati lagi sekumpulan pegawai perempuan yang belum selesai bergosip. Perlahan mengerti alasan mereka tak bosan melakukan kegiatan itu. Tentu saja, lebih mudah membicarakan atasan ketimbang mengulang pekerjaan.
-Fai
"Mungkin saking galaknya kali, jadi nggak laku." celetuk pegawai berambut merah yang diakhiri dengan cekikikan usil.
Pasti Mbak Renata yang jadi topik obrolan. Art director kami yang sudah berusia empat puluhan itu memang tegas dan tak segan menegur kalau pekerjaan bawahannya tak sesuai ekspektasi. Aku sampai sekarang kurang paham kenapa pegawai wanita di kantor selalu saja berbicara hal-hal yang buruk tentang beliau.
Well, she is not lovely indeed. Kata-katanya tajam kalau mengomentari hasil kerja yang tak beres. Artikelku beberapa kali jadi bahan murkanya, aku pulang dengan kesal bertumpuk. Tapi, bukannya itu memang tugas Mbak Renata? Memastikan bahwa output kami memenuhi ekspektasi klien.
Menurutku, manusia sering mengatribusikan kesalahan dan kelemahan diri sendiri ke pihak di luar diri mereka agar merasa lebih baik. Jadi kalau pekerjaan mereka ditolak dan diminta untuk diulang dari awal, itu semua salah Mbak Renata--bukan salah kualitas mereka yang bobrok. Aku tersenyum kecut, maka selamanya mereka tertinggal di belakang--sama dengan posisi mereka saat menggunjingkan Mbak Renata.
"Silakan masuk, Mbak." ujar asisten Mbak Renata padaku sambil tersenyum simpul.
Aku masuk, melihat artikelku sudah dalam bentuk print out di atas meja--penuh coretan merah. "Fai, kamu baik-baik saja?"
Pertanyaan seperti itu dilontarkan bukan karena Mbak Renata peduli keadaanku, aku tahu jelas maksudnya. Setelah menarik kursi di depannya, aku duduk tenang. "Apa ada yang salah dengan tulisan saya, Mbak?"
"Copy untuk iklan jasa desain interior, Fai! Ini advertorial, bukan laman wikipedia. Kamu sudah wawancara?"
Aku menggeleng, "Deadline untuk pekerjaan ini hanya tiga hari, Mbak."
"Exactly! Makanya kamu seharusnya kamu cepat bikin janji dan wawancara!"
"Tapi C-level biasanya minta waktu sekitar seminggu untuk approval meeting. Belum soal.."
"Minta ke Lastri kontak direkturnya, bikin jadwal wawancara. Harusnya direkturnya tahu diri dengan perusahaan kecil begitu. Saya beri dua hari lagi. Make it fast, no excuse."
Aku menarik napas, apa Mbak Renata tidak mendengar soal alasanku barusan? Atau telinganya tertutup rambut yang tergerai mengerlung hasil catokan setiap pagi?
"Fai?" Mbak Renata menjentikkan jarinya di depan mukaku. "No excuse, okay?"
"Baik, Mbak."
Aku melewati lagi sekumpulan pegawai perempuan yang belum selesai bergosip. Perlahan mengerti alasan mereka tak bosan melakukan kegiatan itu. Tentu saja, lebih mudah membicarakan atasan ketimbang mengulang pekerjaan.
-Fai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar