Sabtu, 08 Agustus 2015

Behind The Boss #8

Sekumpulan pegawai perempuan, kasak-kusuk sambil menghadap layar monitor. Aku melewati sudut tempat mereka berkumpul dengan sengaja, sedikit penasaran.

"Mungkin saking galaknya kali, jadi nggak laku." celetuk pegawai berambut merah yang diakhiri dengan cekikikan usil.

Pasti Mbak Renata yang jadi topik obrolan. Art director kami yang sudah berusia empat puluhan itu memang tegas dan tak segan menegur kalau pekerjaan bawahannya tak sesuai ekspektasi. Aku sampai sekarang kurang paham kenapa pegawai wanita di kantor selalu saja berbicara hal-hal yang buruk tentang beliau.

Well, she is not lovely indeed. Kata-katanya tajam kalau mengomentari hasil kerja yang tak beres. Artikelku beberapa kali jadi bahan murkanya, aku pulang dengan kesal bertumpuk. Tapi, bukannya itu memang tugas Mbak Renata? Memastikan bahwa output kami memenuhi ekspektasi klien.

Menurutku, manusia sering mengatribusikan kesalahan dan kelemahan diri sendiri ke pihak di luar diri mereka agar merasa lebih baik. Jadi kalau pekerjaan mereka ditolak dan diminta untuk diulang dari awal, itu semua salah Mbak Renata--bukan salah kualitas mereka yang bobrok. Aku tersenyum kecut, maka selamanya mereka tertinggal di belakang--sama dengan posisi mereka saat menggunjingkan Mbak Renata.

"Silakan masuk, Mbak." ujar asisten Mbak Renata padaku sambil tersenyum simpul.

Aku masuk, melihat artikelku sudah dalam bentuk print out di atas meja--penuh coretan merah. "Fai, kamu baik-baik saja?"

Pertanyaan seperti itu dilontarkan bukan karena Mbak Renata peduli keadaanku, aku tahu jelas maksudnya. Setelah menarik kursi di depannya, aku duduk tenang. "Apa ada yang salah dengan tulisan saya, Mbak?"

"Copy untuk iklan jasa desain interior, Fai! Ini advertorial, bukan laman wikipedia. Kamu sudah wawancara?"

Aku menggeleng, "Deadline untuk pekerjaan ini hanya tiga hari, Mbak."

"Exactly! Makanya kamu seharusnya kamu cepat bikin janji dan wawancara!"

"Tapi C-level biasanya minta waktu sekitar seminggu untuk approval meeting. Belum soal.."

"Minta ke Lastri kontak direkturnya, bikin jadwal wawancara. Harusnya direkturnya tahu diri dengan perusahaan kecil begitu. Saya beri dua hari lagi. Make it fast, no excuse."

Aku menarik napas, apa Mbak Renata tidak mendengar soal alasanku barusan? Atau telinganya tertutup rambut yang tergerai mengerlung hasil catokan setiap pagi?

"Fai?" Mbak Renata menjentikkan jarinya di depan mukaku. "No excuse, okay?"

"Baik, Mbak."

Aku melewati lagi sekumpulan pegawai perempuan yang belum selesai bergosip. Perlahan mengerti alasan mereka tak bosan melakukan kegiatan itu. Tentu saja, lebih mudah membicarakan atasan ketimbang mengulang pekerjaan.


-Fai

Minggu, 21 Juni 2015

Head of Pack #7

"Saya pulang dulu ya, Pak Han." ujar salah seorang karyawan dari belakangku. Aku berdehem, merasa tak perlu menoleh. Aku tahu ini sudah lewat jam pulang kantor, aku juga tahu yang barusan itu karyawan terakhir yang meninggalkan kantor.

Sambil melonggarkan dasi, aku masih dibuat heran oleh catatan perusahaan. Masih saja ada yang kurang, kutelusuri tabel satu demi satu. Sebentar lagi pasti ketemu, harus. Kopi di meja sudah mendingin tanpa sempat kucicipi. Aku lelah sekali.

Di saat seperti ini harusnya majalah bisnis menyoroti kehidupan pemimpin perusahaan. Pemimpin perusahaan selalu digambarkan dengan baju rapi, duduk di kursi kulit besar yang nyaman, sambil tersenyum gagah menampilkan kekuatan. Laman kemudian berisi kisah sukses dan profit miliaran perusahaan, belum lagi strategi dan trik jitu yang diamini oleh pengusaha baru yang berharap mendapat kesuksesan yang sama.

Majalah-majalah itu selalu lupa bahwa setiap petang, pemimpin perusahaan jadi orang yang masih dituntut untuk berpikir keras. Tak pernah ada waktu makan malam santai atau liburan keluarga. Semua pegawai selesai bekerja pukul lima sore, kecuali pemimpin mereka. Semua pegawai makan siang dan beristirahat, pemimpin mereka memanfaatkan waktu makan siang sebagai waktu rapat.

Memimpin berarti mengorbankan sesuatu. Sesuatu mungkin berarti satu-satunya yang aku punya, hidup normal.

Cukup, malam masih panjang. Aku tak punya waktu menyesali keadaan yang aku punya. Pengusaha perusahaan skala tanggung seperti aku tak punya waktu untuk gundah gulana.


-Han

Father #6

Papa duduk di teras, membuka koran sambil ditemani secangkir teh panas yang mengepul. Dulu, sebelum diabetes melitus membatasi asupan gulanya, teh panas tidak tawar seperti sekarang. Aku tahu betul perjuangan Mama dalam mengubah kebiasaan di rumah supaya ramah terhadap diabetes Papa. Belum lagi harus berurusan dengan emosi Papa yang berubah relatif labil.

Perkawinan menurutku sarat dengan pelayanan dari pihak wanita. Mungkin sebenarnya pria menikah juga karena kebutuhan mereka untuk diladeni. Sebagai gantinya, pria melindungi dan menafkahi.

Pelayanan? Bukankah hidup terlalu singkat untuk menggadaikan kebebasan dengan nafkah yang perlindungan yang sebenarnya bisa dicapai sendiri?


-Fai

Kamis, 21 Mei 2015

Five years #5

"Apa yang akan kamu lakukan lima tahun lagi?" 

Aku tak sengaja mendengar pertanyaan yang diajukan manajer HRD yang ruangannya kulewati saat hendak membeli makan siang. Setiap pelamar di kantor ini pasti akan mendapatkan pertanyaan yang serupa.

Hm. Lima tahun.
Lima tahun lagi aku masih akan bekerja, sisanya tak terbayang sama sekali.

Mungkin selain pekerjaan, aku memang tak punya kehidupan.


-Han

Minggu, 17 Mei 2015

Menu makan malam #4

Ada yang salah di kepala laki-laki zaman sekarang. Atau aku saja yang tertimpa sial berinteraksi dengan laki-laki yang isi kepalanya salah. Baru pertemuan ketiga, Gian sudah menanyakan akan mengarah kemana hubungan kami?

Hubungan? Tiga kali pertemuan makan malam dikiranya mengarah ke sebuah hubungan? Kalau iya, harusnya aku sudah bertunangan dengan Mas Sardi--penjual pecel lele di depan kosanku. Gian harusnya memenuhi stereotipe laki-laki yang menghindari komitmen.

Bukankah punya pilihan menu makan malam berganti-ganti lebih menyenangkan ketimbang makan setiap malam dengan menu yang sama dan kebosanan?

..atau aku saja yang tidak punya makanan kesukaan?


-Fai

Sabtu, 16 Mei 2015

Beginning #3

Sampai disini, ceritanya akan berhenti dulu. Bukankah membosankan membaca cerita tentang dua orang yang mencintai sama besar? Sampai disini, waktu akan kuhentikan sebentar. Aku akan memutar waktu dan membuat kalian melihat bagaimana dua pecinta ini saling bertemu.


-Semesta

Jumat, 15 Mei 2015

"Iya, Sayang." #2

Kalau aku mulai rewel, Han akan banyak berucap 'sayang'. Hal tersebut jarang sekali terjadi tanpa alasan. Biasanya Han akan memanggil aku dengan 'Fai' saja. Namun saat kakiku pegal karena memakai tumit tinggi seharian atau saat rambutku terkena hujan padahal baru pagi tadi dikeramasi, Han pasti mendengarkan sambil menanggapi omelanku dengan 'iya sayang.' berulang-ulang.


-Fai

Rabu, 13 Mei 2015

Donat putri salju #1

Fai menamai varian donat dengan taburan gula halus berwarna putih sebagai donat putri salju. Matanya akan berbinar senang kalau aku membawakannya sebuah dengan coklat panas. Sudah, membuatnya tersenyum semudah dan sesederhana itu.

Donat putri salju akan mencuri perhatian Fai dalam beberapa menit. Aku merasa menang saat tangannya berhenti mengetik dan menerima donat sambil mengucap terima kasih. Tumpukan gula halus di bagian atas akan jadi sasaran pertamanya.

Matanya lalu tersenyum sambil merasa sensasi dingin yang menjalar di lidahnya. Sedangkan aku, tersenyum karena ada sisi sederhana yang bisa kumengerti dari seorang Fai.


-Han

Kamis, 07 Mei 2015

Alasan #Prolog

..dibuat untuk dua manusia yang sering bercinta dalam kepala.

Ruang dalam kepalaku mulai sesak oleh kalian. Saat-saat dimana kalian merindu dan menggaungkan nama satu sama lain. Saat-saat dimana kalian melepas rindu dan berpeluk sampai sulit bernapas.

Dear Han, Dear Fai.
Bercintalah sepuasnya disini.